SMK BISA !!!!

SMK NEGERI 3 GARUT
Selamat Datang dan Bergabung di Blog ini

Minggu, 25 Juli 2010

Jumat, 19 Maret 2010

Jenis-Jenis Paragraf Klik Disini
Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Untuk Sekolah Menengah Klik Disini
Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik sebuah paragrap Klik Disini

Rabu, 10 Maret 2010

A Kalimat Efektif

Kalimat efektif adalah kalimat yang singkat dan padat tetapi dapat menyampaikan pesan secara tepat dan dapat dipahami secara tepat Kalimat efektif menuntut adanya beberapa ketepatan, di antaranya ketepatan pilihan kata, bentuk kata, pola kalimat, dan makna kalimat. Ketidakefektifan kalimat dalam surat biasanya disebabkan oleh:

1. Salah nalar

Coba Anda perhatikan contoh di bawah ini.

(a) Pada hari ini saya datang terlambat karena jalannya macet

(b) Saya mohon maaf tidak bisa mengikuti arisan karena tidak ada waktu.

Kalimat di atas merupakan bagian surat yang sering kita lihat pada surat pemberitahuan. Jika dilihat selintas memang kalimat di atas tampak efektif karena mudah kita pahami. Akan tetapi, kalimat tersebut sebenarnya tidak efektif karena salah nalar. Pada kalimat (a) terdapat frasa jalannya macet. Di dalam Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI, 1994: 611) kata macet berarti terhenti atau tidak lancar. Kata terhenti atau frasa

tidak lancar hanya boleh mengikuti kata yang bermakna ’gerak.’ Sedangkan kata jalan tidak mengandung makna ’gerak.’ Oleh karena itu, frasa jalanya macet mengalamai salah nalar, karena kata jalan pada konteks kalimat tersebut memang tidak pernah bergerak.

Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi pada kalimat (b). Tuhan telah memberikan waktu kepada kita 24 jam dalam satu hari dan satu malam. Jadi kalau ia tidak bisa arisan karena tidak ada waktu, berarti terjadi salah nalar. Kemungkinan yang tidak ada adalah kesempatan, karena setiap orang memiliki kesempatan yang berbeda-beda.

Dua kalimat di atas dapat diperbaiki menjadi:

(a) Pada hari ini saya datang terlambat karena lala lintas macet

(b) Saya mohon maaf tidak bisa mengikuti arisan karena tidak ada kesempatan untuk datang.

Masih banyak contoh kalimat lain yang salah nalar, misalnya:

(a) Mobil Pak Sanusi mau dijual.

(b) Waktu dan tempat kami persilakan kepada Bapak Rustamaji.

(c) Bola berhasil masuk ke gawang lawan.

Kalimat di atas dapat diperbaiki menjadi:

(a) Mobil Pak Sanusi akan dijual.

(b) Bapak Rustamji kami persilakan.

(c) Ronaldo berhasil memasukkan bola ke gawang lawan.

2. Penggunaan kata depan yang berlebihan dan tidak tepat

Penggunaan kata depan yang berlebihan di dalam kalimat surat juga menjadikan kalimat tidak efektif. Coba Anda perhatikan contoh berikut ini.

(a) Perusakan kami maju pesat berkat perkembangan daripada teknologi informasi.

(b) Kepada yang berminat membeli printer merek epson dapat menghubungi perusahaan kami.

(c) Jika belum jelas, Anda dapat meminta penjelasan lebih lanjut ke saya.

Penggunaan kata depan daripada pada kalimat (a) sangat berlebihan dan tidak tepat. Kata depan daripada berfungsi untuk membandingkan antara dua kata benda atau frasa benda. Padahal kata depan daripada pada kalimat (a) tidak berfungsi untuk membandingkan.

Jadi, kalimat di atas dapat diperbaiki sebagai berikut:

(a) Perusakan kami maju pesat berkat perkembangan teknologi informasi.

(b) Yang berminat membeli printer merek epson dapat menghubungi perusahaan kami.

(c) Jika belum jelas, Anda dapat meminta penjelasan lebih lanjut kepada saya.

Contoh penggunaan kata depan daripada yang tepat adalah:

Ø Hidup di desa lebih tenang daripada hidup di kota.

Ø Tunjangan kesejahteraan guru DKI Jakarta lebih baik daripada tunjangan kesejahteraan guru dari daerah lain.

Ø Daripada menjadi gelandangan di DKI Jakarta lebih baik kita mengikuti transmigrasi ke Kalimantan.

Penggunaan kata depan kepada pada kalimat (b) juga berlebihan dan tidak tepat. Penggunaan kata depan kepada yang benar adalah untuk menyatakan ’tempat yang dituju’ dan ditempatkan di muka objek dalam kalimat yang predikatnya mengandung pengertian ’tertuju terhadap sesuatu.’

Contoh:

(a) Persoalan itu harus dilaporkan kepada kepala sekolah.

(b) Saya akan meminta bantuan kepada LBH yang ada di PGRI.

(c) Marilah kita kembali kepada UUD 1945.

Penggunaan kata depan ke pada kalimat (c) tidak tepat, karena kata depan ke tidak dapat digunakan di depan:

(a) kata ganti (saya, kamu, dan dia),

(b) kata nama diri (Sanusi, Gunawan),

(c) kata nama jabatan (lurah, camat, dan gubernur),

(d) Kata nama kekerabatan ( adik, saudara, dan ibu).

Kata depan ke berfungsi untuk menyatakan ’tempat tujuan’ dan digunakan di depan kata benda yang menyatakan tempat. Untuk menyatakan ’tempat yang dituju’ penggunaan kata depan ke akan lebih cermat apabila diikuti dengan kata yang menunjukkan bagian dari tempat yang dimaksud. Contoh penggunaan kata depan ke yang tepat.

(a) Ayah pergi ke Makasar.

(b) Saya melihat ke tengah danau.

(c) Perampok itu berlari ke samping mobil kami.

3. Pleonasme (berlebihan/mubazir)

Penggunaan kata yang pleonastis (berlebihan) dapat mempengaruhi efektivitas kalimat. Coba perhatikan contoh berikut ini.

(a) Produk-produk kami dijamin memuaskan para Bapak-bapak dan Ibu-ibu.

(b) Harga yang Bapak tawarkan kepada kami sangat murah sekali.

(c) Banyak orang-orang yang telah tertarik terhadap produk perusahaan kami.

Kata depan para pada kalimat (a) sangat berlebihan (mubazir). Kata depan para bermakna ’jamak.’ Oleh karena itu, penggunaan kata depan para jangan diikuti lagi dengan kata yang bermakna jamak, misalnya bapak-bapak, Ibu-ibu, hadirin, dan sebagainya. Hal yang senada juga terjadi pada kalimat (c). Kata banyak seyogyanya tidak diikuti kata jamak (orang-orang).

Penggunaan kata sangat murah sekali pada kalimat (b) juga pleonastis (berlebihan). Kata sangat sama atau mirip artinya dengan kata sekali. Oleh karena itu, pergunakan salah satu saja, yakni sangat murah atau murah sekali.

Jadi, perbaikan kalimat di atas adalah:

(a) Produk-produk kami dijamin memuaskan para Bapak dan Ibu.

(d) Harga yang Bapak tawarkan kepada kami sangat murah.

(e) Banyak orang yang telah tertarik terhadap produk perusahaan kami

B. Pemilihan kata yang tepat (diksi)

Pilihan kata atau diksi dalam bahasa surat hendaknya tepat agar tidak menimbulkan konotasi yang lain. Konotasi adalah makna tambahan yang muncul dari kata tersebut. Makna konotasi muncul akibat penafsiran, perasaan, dan budaya setiap orang. Konotasi ini akan ditanggapi secara berbeda-beda, bergantung dari situasi pembacanya. Coba Anda perhatikan contoh berikut ini.

(a) Kami berharap, Bapak dapat bergabung di perusahaan kami.

(b) Saya berharap, Saudara dapat bergabung di perusahaan saya.

Kata kami pada kalimat (a) sebenarnya sama dengan kata saya pada kalimat (b), yakni prulalis majestatis. Penggunaan kata kami terasa lebih santun karena tidak menonjolkan diri dibandingkan dengan kata saya. Begitu pula, penggunaaan kata Bapak terasa lebih terhormat dibandingkan dengan kata Saudara.

Contoh lain adalah:

(a) Seorang supervisor harus memperhatikan anggota timnya.

(b) Seorang mandor harus memperhatikan bawahannya.

Kata supervisor dan mandor pada kalimat di atas pada dasarnya memiliki makna yang sama, pengawas atau pengontrol utama. Akan tetapi, kata supervisor terasa lebih terhormat daripada kata mandor. Begitu pula, frasa anggota tim memiliki konotasi lebih baik daripada kata bawahan.

Contoh lainnya adalah:

Perusahaan kami menerima tenaga kerja wanita dengan syarat tinggi badan minimal 165 cm, berleher jenjang, dan bertubuh langsing.

Frasa berleher jenjang dan bertubuh langsing pada kalimat di atas memiliki konotasi yang baik, jika dibandingkan dengan frasa berleher panjang dan tubuhnya kurus. Oleh karena itu, pemilihan kata atau frasa di dalam bahasa surat harus benar-benar diperhatikan

C. Penggunaan kata baku

Kata-kata yang digunakan di dalam surat hendakanya kata yang baku. Kata yang baku adalah kata yang sesuai dengan standar Kamus Besar bahasa Indonesia. Apabila ternyata kita terpaksa harus menggunakan kata asing karena belum ada padannya dalam bahasa Indonesia, maka kata tersebut harus dicetak miring atau digaribawahi. Berikut ini adalah beberapa contoh kata baku dan tidak baku.

B a k u


Tidak baku

akta

alpa (tidak hadir)

alternatif

analisis

apotek

banker

beasiswa

biaya

CV

cenderamata

efektif

ekspor

faksimile

faktur

fotokopi

ijazah

izin

jadwal

kabar

kualitas

legalisasi

manajemen

miliar

nomor

November

persen

PT

rezeki

risiko

teladan

utang

vital


akte

alfa (tidak hadir)

alternatip

analisa

apotik

bangker

biasiswa

beaya

C.V.

cinderamata

epektif

eksport

faximile

paktur

photokopi

ijasah

ijin

jadual

khabar

kuwalitas

legalisir

management

milyar

nomer

Nopember

prosen

P.T.

rejeki

resiko

tauladan

hutang

fital

D. Penggunaan Ejan yang tepat

Penulis surat yang cermat pasti memperhatikan kaidah Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Begitu pula sebaliknya, penulis surat yang tidak cermat biasanya lebih memetingkan isi daripada bahasa. Dalam penulisan surat, baik isi maupun bahasa harus benar-benar kita perhatikan. Berikut ini adalah beberapa contoh kalimat dalam surat yang kurang memperhatikan kaidah ejaan.

1. Semoga anda dapat bergabung dengan perusahaan kami.

2. Setiap hari sabtu perusahaan kami libur.

3. Surat penawaran ini berasal dari P.T. Genta Buana Perkasa.

4. Surat ini harus ditanda tangani oleh direktur perusahaan.

5. Silakan hubungi sub-bagian tata usaha.

6. Harga gula yang kami tawarkan sebesar Rp. 8.000,- per kg.

7. Atas perhatiannya, saya ucapkan terima kasih.

8. Jadwal wawancara dirubah menjadi tanggal 2 s/d 5 Maret 2006.

9. Direktur perusahaan kita yang baru adalah seorang sarjana hukum, yakni Dr. Tony SH.

10. Pihak ke-I bertindak sebagai penjual dan pihak ke-II sebagai pembeli.

Marilah kita cermati penggunaan ejaan yang salah dalam penulisan kalimat surat di atas.

Penulisan kata anda pada kalimat (1) tidak sesuai EYD. Kata anda sebagai bentuk sapaan harus diawali dengan huruf kapital, yakni Anda. Kata sapaan lain adalah Bapak, Ibu, Saudara, dan sebagainya.

Pada kalimat (2) terdapat nama hari yang penulisannya tidak tepat karena diawali dengan huruf kecil. Menurut ketentuan EYD, semua nama hari, nama bulan, dan nama tahun harus diawali dengan huruf kapital. Sebagai contoh:

Nama hari : Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, dan Minggu.

Nama bulan : Januari, Februari, Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober, November, dan Desember.

Nama tahun : Masehi, Kabisat, Saka, dan Hijriah.

Pada kalimat (3) terdapat penulisan singkatan huruf awal kata yang menggunakan tanda titik. Di dalam EYD disebutkan bahwa singkatan yang terdiri atas huruf awal kata, suku kata atau gabungan keduanya yang terdapat dalam akronim tidak perlu menggunakan tanda titik. Jadi, penulisan singkatan PT tidak perlu menggunakan tanda titik, seperti singkatan CV, SMA, MPR, ABRI, dan sebagainya.

Penulisan kata ’ditanda tangani’ pada kalimat (4) seharusnya dirangkaikan, yakni ditandatangani. Hal tersebut karena gabungan kata itu mendapat awalan dan akhiran sekaligus. Sedangkan pada kalimat (5) terdapat kata ’sub-bagian’ seharusnya subbagian. Bentuk sub-, semi, non-, dan in- sebagai awalan dari bahasa asing harus ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya. Misalnya: semifinal, nonformal, dan informal.

Penulisan singkatan rupiah pada kalimat (6) tidak perlu menggunakan tanda titik. Begitu pula penggunakan tanda koma dan setrip di akhir angka tidak sesuai ketentuan EYD. Contoh penulisan yang tepat adalah Rp 8.000,00 per kg.

Kalimat (7) merupakan kalimat penutup surat yang tidak tepat. Kata ganti ”–nya” pada kata perhatiannya tidak jelas. Oleh karena itu, kata ganti-”nya” harus diganti dengan kata nama diri, menjadi: Atas perhatian Saudara, kami ucapkan terima kasih.

Pada kalimat (8) terdapat penulisan kata dan singkatan yang tidak sesuai EYD, yakni kata dirubah dan s/d. Kata dirubah sebenarnya berasal dari kata dasar ubah, bukan rubah. Oleh karena itu, imbuhan di- + ubah menjadi diubah. Adapun singkatan sampai dengan yang benar adalah s.d. bukan s/d.

Penulisan gelar sarjana hukum (kalimat (9) adalah S.H. Gelar sarjana hukum ditempatkan di bagian belakang nama. Penulisan gelar di belakang nama menurut EYD harus diawali dengan tanda koma. Contoh:

(a) Dr. Tony, S.H.

(b) Sri Mulyani, S.Pd.

(c) Sugiman, B.Sc.

Penulisan ke-I dan ke-II pada kalimat (10) tidak tepat. Penulisan ke- harus diikuti denggan angka Arab. Apabila ingin menggunakan angka Romawi maka bentuk ke- tidak perlu dimunculkan. Misalnya:

(a) Pihak ke-1 dan pihak ke-2.

(b) Pihak I dan pihak II.

Kamis, 04 Maret 2010

Bentukan Kata

A. Pengantar

Sudah kita ketahui bahwa dalam bahasa Indonesia ada kata dasar dan kata bentukan. Kata dasar disusun menjadi kata bentukan melalui tiga macam proses pembentukan, yaitu: (1) afiksasi atau pengimbuhan; (2) reduplikasi atau pengulangan; (3) komposisi atau pemajemukan. Kita juga sudah mengenal adanya imbuhan atau afiks yang meliputi prefiks atau awalan, sufiks atau akhiran, dan infiks atau sisipan. Infiks sebenarnya tidak begitu penting dalam bahasa Indonesia, tetapi dalam pembentukkan istilah infiks-in yang berasal dari Jawa sering juga dipakai.

Menurut FPBS (1994 :19), pembentukan kata dengan menggunakan awalan dan akhiran dalam bahasa Indonesia sudah banyak dikenal oleh para mahasiswa. Namun demikian sering juga kita jumpai kata-kata yang bentuknya tidak tepat atau salah.

Perhatikan contoh pemakaian kata bercetak miring pada teks berikut!

Pergaulan hidup yang berdeferensiasi berarti pergaulan hidup terbagi atas sektor-sektor dimana tiap khusus tertuju pada pelaksanaan salah satu fungsi yang telah disebut itu.

Kata berdeferensiasi dalam kalimat tersebut digunakan secara salah. Kata yang lebh sesuai adalah berbeda-beda karena kata deferensiasi bukanlah anggota kosa kata baku bahasa Indonesia walaupun maknanya sama dengan kata berbeda-beda.

Contoh-contoh lain dapat diamati pada kalimat-kalimat di bawah ini. Perhatikan kata-kata yang bercetak miring!

1. Usaha kami selama ini memang profitable sehingga kami dapat menghidupi karyawan secara layak.

2. Semua ilmuwan sangat besar atensinya terhadap penemuan Andi.

3. Supaya mudah dicetak, lempung sebaiknya diolah tidak terlalu lunak dan tidak terlalu keras.

4. Pengambilan data dijalankan dengan menyebarkan angket kepada semua informan yang telah ditentukan.

Kesalahan juga terjadi pada bentukan kata. Dalam hal ini bentukan kata yang digunakan dalam kalimat merupakan bentukan-bentukan kata yang tidak tepat. Perhatikan contoh berikut ini!

  1. Penulis terpaksa mengubah rumus itu dan ternyata hasil perubahan itu dapat digunakan untuk menyelesaikan analisis data.
  2. Setiap pemerian data selalu dilengkapi dengan contoh pemerian data itu dapat dipahami secara lebih konkret.
  3. Kedua kendaraan itu tabrakan di tikungan tajam dan kecelakaan tak dapat dihindari.

Jika diperhatikan konteks dan acuan kata-kata bercetak miring tersebut tampak bahwa bentukan kata-kata itu tidak tepat. Akan lebih tepat jika kata perubahan diganti dengan ubahan, kata pemerian diganti dengan perian, dan kata tabrakan diganti dengan bertabrakan. Alasannya sudah jelas. Hasil mengubah adalah ubahan, yang diperikan adalah perian, bukan pemerian, bentukan tabrakan merupakan bentukan yang tidak baku. (FPBS : 1994 :38).

B. Imbuhan dari bahasa asing

Yang perlu kita pelajari ialah adanya imbuhan yang berasal dari bahasa asing yang kadang juga dikenakan pada kata dasar bahasa Indonesia. Kata-kata asing yang diserap dalam bahasa Indonesia itu pada dasarnya kita pandang sebagai kata dasar. Namun demikian bentuk-bentuk kata asing itu bermacam-macam, sehingga memungkinkan kita untuk menganalisis bentuk-bentuk tersebut dan menemukan awalan atau akhirannya. Kita mengenal kata-kata objek, objektif, objektivitas, objektivisme, objektivisasi. Dari bentuk tersebut kita menemukan kata dasar objek, akhiran –if, itas, -isme, -isasi. Di samping kata moral atau sosial kita kenal adanya amoral, atau asosial. Di samping kata evaluasi kita mengenal devaluasi, di samping regulasi kita mengenal deregulasi, di samping harmoni kita mengenal disharmoni, di samping integrasi kita mengenal disintegrasi. Demikianlah kita mengenal adanya awalan a-, de-, dis-.

  1. Awalan

Awalan-awalan pada kata-kata serapan yang disadari adanya, juga oleh penutur yang bukan dwibahasawan, adalah sebagai berikut:

  1. a- seperti pada amoral, asosial, anonym, asimetris. Awalan ini mengandung arti ‘tidak’ atau ‘tidak ber’;
  2. anti- seperti pada antikomunis, antipemerintah, antiklimaks, antimagnet, antikarat yang artinya ‘melawan’ atau ‘bertentangan dengan’;
  3. bi- misalnya pada bilateral, biseksual, bilingual, bikonveks. Awalan ini artinya ‘dua’;
  4. de- seperti pada dehidrasi, devaluasi, dehumanisasi, deregulasi. Awalan ini artinya ‘meniadakan’ atau ‘menghilangkan’;
  5. eks- seperti pada eks-prajurit, eks-presiden, eks-karyawan, eks-partai terlarang. Awalan ini artinya ‘bekas’ yang sekarang dinyatakan dengan kata ‘mantan’.
  6. ekstra- seperti pada ekstra-universiter, ekstra-terestrial, ekstra linguistic, kadang juga dipakai pada kata-kata bahasa Indonesia sendiri. Contoh: ekstra-ketat, ekstra-hati-hati. Awalan ini artinya ‘tambah’, ‘diluar’, atau ‘sangat’;
  7. hiper- misalnya pada hipertensi, hiperseksual, hipersensitif. Awalan ini artinya ‘lebih’ atau ‘sangat’;
  8. in- misalnya pada kata inkonvensional, inaktif, intransitive. Awalan ini artinya ‘tidak’;
  9. infra- misalnya pada infrastruktur, inframerah, infrasonic. Awalan ini artinya ‘di tengah’;
  10. intra- misalnya pada intrauniversiter, intramolekuler. Awalan ini artinya ‘di dalam’;
  11. inter- misalnya interdental, internasional, interisuler, yang biasa di Indonesiakan dengan antar-;
  12. ko- misalnya pada kokulikuler, koinsidental, kopilot, kopromotor. Awalan ini artinya ‘bersama-sama’ atau ‘beserta’;
  13. kontra- misalnya pada kontrarevolusi, kontradiksi, kontrasepsi. Awalan ini artinya ‘berlawanan’ atau ‘menentang’;
  14. makro- misalnya pada makrokosmos, makroekonomi, makrolinguistik. Awalan ini artinya ‘besar’ atau ‘dalam arti luas’;
  15. mikro- seperti pada mikroorganisme, mikrokosmos, microfilm. Awalan ini artinya ‘kecil’ atau ‘renik’;
  16. multi- seperti pada multipartai, multijutawan, multikompleks, multilateral, multilingual. Awalan ini artinya ‘banyak’;
  17. neo- seperti pada neokolonialisme, neofeodalisme, neorealisme. Awalan ini artinya ‘baru’;
  18. non- seperti pada nongelar, nonminyak, nonmigas, nonberas, nonOpec. Awalan ini artinya ‘bukan’ atau ‘tidak ber-‘.

2. Akhiran

Pada kata-kata asing yang diserap ke dalam bahasa Indonesia kita jumpai akhiran-akhiran seperti berikut:

  1. –al misalnya pada actual, structural, emosional, intelektual. Kata-kata yang berakhiran –al ini tergolong kata sifat;
  2. –asi/isasi misalnya pada afiksasi, konfirmasi, nasionalisasi, kaderisasi, komputerisasi. Akhiran tersebut menyatakan ‘proses menjadikan’ atau ‘penambahan’;
  3. –asme misalnya pada pleonasme, aktualisme, sarkasme, antusiasme. Akhiran ini menyatakan kata benda;
  4. –er seperti pada primer, sekunder, arbitrer, elementer. Akhiran ini menyatakan sifat;
  5. –et seperti pada operet, mayoret, sigaret, novelete. Akhiran ini menyatakan pengertian ‘kecil’. Jadi operet itu ‘opera kecil’, novelet itu ‘novel kecil’;
  6. –i/wi/iah misalnya pada hakiki, maknawi, asasi, asali, duniawi, gerejani, insani, harfiah, unsuriyah, wujudiyah. Akhiran-akhiran ini menyatakan sifat;
  7. –if misalnya pada aktif, transitif, obyektif, agentif, naratif. Akhiran ini menyatakan sifat;
  8. –ik 1 seperti pada linguistic, statistic, semantic, dedaktik. Akhiran ini menyatakan ‘benda’ dalam arti ‘bidang ilmu’;

-ik 2 seperti pada spesifik, unik, karakteristik, fanatic, otentik. Akhiran ini menyatakan sifat;

  1. -il seperti pada idiil, materiil, moril. Akhiran ini menyatakan sifat. Pada kata-kata lain kata-kata ini diganti dengan –al;
  2. –is 1 pada kata praktis, ekonomis, yuridis, praktis, legendaries, apatis. Akhiran ini menyatakan sifat;

-is 2 pada kata ateis, novelis, sukarnois, Marxis, prosaic, esei. Akhiran ini menyatakan orang yang mempunyai faham seperti disebut dalam kata dasar, atau orang yang ahli menulis dalam bentuk seperti yang disebut di dalam kata dasar;

  1. -isme seperti pada nasionalisme, patriotisme, Hinduisme, bapakisme. Isme artinya ‘faham’;
  2. –logi seperti pada filologi, sosiologi, etimologi, kelirumologi, -logi artinya ‘ilmu’;
  3. –ir seperti pada mariner, avonturir, banker. Akhiran ini menyatakan orang yang bekerja pada bidang atau orang yang mempunyai kegemaran ber-;
  4. –or seperti pada editor, operator, deklamator, noderator. Akhiran ini artinya orang yang bertindak sebagai orang yang mempunyai kepandaian seperti yang tersebut pada kata dasar;
  5. –ur seperti pada donator, redaktur, kondektur, debitur, direktur. Akhiran ini seperti yang di atas menyatakan agentif atau pelaku;
  6. –itas seperti pada aktualitas, objektivitas, universitas, produktivitas. Akhiran ini menyatakan benda.

C. Upaya Pengindonesiaan

Awalan dan akhiran di atas berdasarkan maknanya dapat dibeda-bedakan menjadi beberapa kelompok. Ada imbuhan yang membentuk kata benda, ada imbuhan yang membentuk kata sifat. Beberapa awalan dapat digolongkan sebagai menyatakan pengertian negative, yaitu awalan a-, in-, non-, dis- dan beberapa awalan lain yang tak tercantum dalam daftar di atas seperti ab-, im-, il- dan akhiran –less, yang artinya ‘tidak, bukan, tanpa, atau tidak ber’.

Kata sifat bentuk dengan penambahan akhiran –al, er-, if-, dan –ik. Di samping itu dapat juga digunakan akhiran dari bahasa Arab –i/-wi/-iah yang tidak lagi terasa akhiran asing dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Indonesia sendiri tidak banyak afiks pembentuk kata sifat, seperti yang disebut oleh Fokker (1960:139) bahwa bahasa Indonesia miskin susunan ajektivis.

Dalam bahasa Indonesia kedudukan kata dalam satuan sintaksis yang lebih besar menentukan sifat hubungannya dengan kata lain. Kata benda kayu dapat mensifatkan kata lain seperti halnya kata sifat bagus. Seperti hanya bagus pada meja bagus, kayu, juga mensifatkan meja pada meja kayu. Dalam bahasa Indonesia kata kayu tidak mengalami perubahan bentuk, dan semata-mata posisinya dalam satuan sintaksis yang menempatkannya sebagai atribut.

Menurut kaidah bahasa Indonesia barangkali kata morfologi atau akademi tidak perlu berubah apabila berpindah posisinya, misalnya pada morfologi bahasa Indonesia dan proses morfologi, serta akademi bahasa Indonesia dan pembantu dekan bidang akademi. Urusan akademi dan urusan akademis maknanya berbeda; yang pertama menyatakan hubungan kemilikan yang kedua hubungan kesifatan. Tetapi hubungan makna itu barangkali baru timbul setelah bahasa Indonesia menyerap kata-kata asing yang berbeda bentuknya itu.

Untuk menegaskan perbedaan hubungan makna itu, untuk kata-kata dalam bahasa Indonesia sendiri digunakan konfiks ke-an, contohnya: sifat ibu dan sifat keibuan, uang negara dan kunjungan kenegaraan.

Yang sering menimbulkan keraguan ialah penggunaan akhiran –is dan –ik. Mana yang betul: akademis atau akademik, endosentris atau endosentrik? Akhiran –is diserap dari bahasa Belanda –isch, sedang –ik dari bahasa Inggris –ic atau –ical. Sementara itu akhiran –ik diserap jujga dari akhiran –ics dari bahasa Inggris yang menandai kata benda, seperti: statistic, linguistic, semantic, fonetik. Seperti yang digariskan di dalam Pedoman Pembentukan Istilah, mengingat akhiran –ik banyak digunakan untuk menandai kata benda (statistic, linguistic, semantic, logistic, dan sebagainya) untuk kata sifat hendaknya digunakan –is, kecuali pada kata-kata: simpatik, unik, alergik, spesifik, karakteristik, analgesik.

Akhiran yang berasal dari bahasa Arab, yang terasa lebih bersifat Indonesia, dapat digunakan untuk menerjemahkan kata-kata asing, misalnya penalaran mantiki (logika reasoning), antropologi ragawi (physical anthropology), makhluk surgawi (devine being), terjemahan harfiah (letteral translation) dan sebagainya.

Di samping itu, untuk menyatakan pengertian seperti yang dinyatakan oleh bentukan-bentukan dalam bahasa asing, dalaml bahasa Indonesia sendiri digali imbuhan atau kata-kata yang diharapkan dapat menjadi padanan bentukan-bentukan dalam bahasa asing (Johannes, 1982 dan 1983, dan dalam Moeliono dan Dardjowidjojo (Eds.), 1988:431). Daftar afiks, morfem, atau kata tersebut adalah sebagai berikut.

1. adi- seperti pada: adidaya (super power), adikodrati (super natural), adikarya (masterpiece), adibusana (high fashion), adimarga (boulevard);

2. alih seperti pada: alih aksara (transliteration), alih tulis (transcript), alih

teknologi (transfer of technology), alih bahasa (translate);

3. antar- seperti pada: antarbangsa (internasional), antarnusa (interinsuler),

antarbenua (intercontinental), antardepartemen (interdepartmental);

4. awa- pada: awahama (disinfect), awabau (deodorize), awahubung (disconnect), awawarna (discolor), pengawasan (disimilasi);

5. bak- pada bakruang (space-like), bakelektron (electron-like), bakintan

(adamantine), bakagar (galantineous);

6. dur- pada: durjana (evildoer), dursila (immoral), durkarsa (malevolence,

malice), durhaka (sinful);

7. lepas pada: lepas landas (takeoff), lepas pantai (offshore);

8. lir- pada: lirkaca (glassy) liragar (galantineous) liritan (adamantine) sang lir sari ‘yang seperti bunga’;

9. maha- pada: maharaja (kaisar, raja besar), mahaguru (guru besar), mahasiswa, Maha Esa, Mahaadil, Mahakuasa, Maha Pemurah;

10. mala- pada: malagizi (malnutrition), malabentuk (malformation), malakelola

(mismanage), malapraktik (malpractice);

11. nara pada: narasumber (resource person), narapidana (convicted), narapraja

(pegawai pemerintah), nararya (nonbleman);

12. nir- pada: nirnoda (stainless), nirnyawa (inanimate), niraksara (illiterate),

nirgelar (non-degree), niranta (infinite);

13. pasca- pada: pascapanen (postharvest), pascasarjana (postgraduate), pascadoktor (postdoctoral), pascaperang (postwar);

14. peri- pada: perijam (clookwise), periujung (endwise), perkipas (fanwise),

peridolar (dollarwise);

15. pra- pada: prasejarah (prehistory), prakira (forecast), pratinjau (preview),

prakata (foreword, preface);

16. pramu- pada: pramugari (stewardes), pramuwisata (tourist guide), pramuria (hostess), pramusiwi (babysitter);

17. purna- pada: purnawaktu (fulltime), purnakarya (pekerjaan yang telah dilakukan dengan baik), purnakaryawan (pensiunan pegawai negeri), purnawirawan (pensiunan ABRI);

18. rupa pada: rupa bola (speroid), rupa tangga (scalariform), rupa baji (cuneiform)

19. salah pada: salah cetak (misprint), salah hitung (miscalculate), salah ucap

(misspel), salah paham (misunderstanding);

20. serba- pada: serbasama (homogeneous), serbabisa (all-round), serbaguna

(multipurpose), serbaneka (multivarious), serbacuaca (all-weather);

21. su- pada: sujana (orang baik lawannya durjana), susastra (sastra yang baik, indah), suganda (bau yang harum), sukarsa (good-will), sudarma (darma yang baik);

22. swa- pada: swakarsa (kemauan sendiri), swasembada (dapat memenuhi kebutu han sendiri), swadaya (kekuatan sendiri), swakelola (dikelola sendiri), swapraja (daerah otonom);

23. tan- pada tanlogam (non-metal), tansuku (non-syllabic), tanvokoid

(non-vokoid), tanorganik (anorganic, inorganic);

24. tak- pada: taksosial (asocial), taknormal (abnormal), taksah (illegal), takhidup (nonliving), takmurni (impure);

25. tata pada: tata bahasa, tata hokum, tata kalimat, tata nama;

26. tuna- pada: tunakarya, tunawisma, tunasusila, tunanetra;

27. sisipan –in- pada: tinambah (addent), kinurang (subtrahend), binagi (dividend), minantu (son-in-low), linambang (sign);

28. sisipan –em- pada: gemaung (echoic), gemetar (tremulous), timambah (additive), temerang (shiny).

29. awalan bilangan eka pada: ekaprasetyaj, ekasila; dwi- pada: dwiwarna, dwipihak; tri- pada: tridarma, triratna, tritunggal; catur- pada: caturwarga; panca- pada: pancamarga, pancasila; sad- pada: sadpada; sapta- pada: saptaprasetya, saptamarga; hasta- pada: hastabrata; nawa- pada: nawaaksara; dasa- pada: dasasila;

30. akhiran –wan/-man/-wati

Akhiran –wan ditambahkan pada kata-kata benda yang berakhir dengan vokal a seperti pada gunawan, bangsawan, hartawan, negarawan, sastrawan dan sebagainya. Untuk kata-kata yang terakhir dengan vocal I atau u dulu digunakan akhiran –man seperti pada seniman, budiman, dan Hanuman. Sekarang varian –man sudah tidak produktif lagi, akhiran –wan digunakan juga untuk kata benda yang tidak berakhir dengan vokal a, contohnya rokhaniwan, bahariwan, ilmuwan. Kadang ada kecenderungan untuk menambahkan vokal a pada kata yang berakhir dengan vokal i, misalnya industriawan.

Dengan alat-alat ketatabahasaan di atas diharapkan bahwa bahasa Indonesia menjadi lebih luwes dalam menyatakan kembali berbagai konsep dalam berbagai bidang ilmu yang berasal dari Barat. Kemampuan untuk menyerap berbagai gagasan dari Barat dan mengungkapkannya kembali dalam bahasa Indonesia, diharapkan semakin meningkat. Kata-kata asing tidak kita pungut begitu saja, melainkan diusahakan agar dapat dinyatakan dengan kata-kata yang lebih bersifat Indonesia.

Kembali kepada sarana morfologi untuk menyatakan pengertian ‘negatif’ seperti yang dikemukakan pada awal subbab ini. Dari penggalian potensi yang ada pada bahasa Indonesia sendiri disarankan penggunaan awalan nir-, tan-, tak dan tuna. Dari pengamatan sekilas kelihatan bahwa penggunaan non- masih tetap lebih tinggi kekerapannya daripada awalan dalam bahasa Indonesia sendiri yang diusulkan. Awalan non- kita jumpai pada: non-gelar, non-Opec, non-beras, non-minyak, non-Jawa, non-pribumi, non-Barat, non-Islam dan sebagainya.Awalan nir- dan tan- jarang dijumpai. Sementara awalan tuna- memang agak produktif, seperti pada: tunadaksa, tunagrahita, tunaaksara.

Akhiran-akhiran –is seperti pada linguis, novelis; -ir seperti banker, mariner; -or seperti pada koruptor, senator; -ur seperti pada direktur, redaktur; menyatakan pelaku atau orang yang mempunyai pekerjaan atau keahlian dalam bidang tertentu. Begitu juga akhiran –us pada kritikus, teknikus, musikus, teoritikus, politikus, akademikus, yang jamaknya ditandai dengan akhiran –si; kritisi, teknisi, teoritisi, musisi, politisi, akademisi.

Dalam bahasa Indonesia ada awalan pe- dan pem- di samping akhiran –wan/-wati seperti yang disebutkan di atas. Beberapa kata asing memang dapat lebih diindonesiakan dengan akhiran –wan, misalnya: politikus/politisi menjadi negarawan, linguis menjadi ilmu bahasawan, grammarian menjadi tata bahasawan, librarian menjadi pustakawan.

Pembedaan tunggal-jamak seperti pada politikus dan politisi, kriterium dan criteria, datum dan data, unsur dan anasir tidak begitu diperhatikan dalam bahasa Indonesia. Memang sesudah terserap dalam bahasa Indonesia kata-kata itu tentu saja tidak perlu tunduk pada kaidah bahasa aslinya. Kalau politisi, criteria, data dan unsur yang lebih banyak dipakai boleh saja untuk menyatakan jamak kata itu diulang menjadi politisi-politisi, kriteria-kriteria, data-data atau unsur-unsur. Begitu juga kalau dalam suatu upacara penguburan seorang yang memberikan sambutan mengajak para hadirin berdoa agar arwah almarhumah diberi tempat yang layak di sisi Tuhan.

Awalan peng- tidak dapat bersaing dengan awalan-awalan tersebut di atas, juga dengan akhiran –wan/-wati. Kata benda berawalan peng- diturunkan dari kata kerja; menjahit – penjahit, mengarang – pengarang, melempar – pelempar. Bentuk pirsawan yang diturunkan dari pirsa ‘melihat’ dipandang tidak tepat dan diganti dengan pemirsa. Awalan peng- diturunkan dari kata kerja berawalan meng-, sedang variannya yang tidak mengandung sengauan diturunkan dari kata kerja berawalan ber. Adanya bentuk-bentuk pecatur, pegolf, pebowling, pejudo, pesilat, petenis, barangkali diturunkan dari bermain catur, golf, tenes, dan sebagainya.

Akhiran –asi atau –isasi sangat produktif, sampai-sampai kata-kata dalam bahasa Indonesia sendiri ada yang mendapat akhiran tersebut. Contohnya: turinisasi, lamtoronisasi, komporisasi, pompanisasi, randuisasi. Kata-kata bentukan dengan akhiran semacam ini sebenarnya dapat dinyatakan dengan konfiks peng – an misalnya penasionalan untuk nasionalisasi, pembaratan untuk westernisasi, pengintensifan untuk intensifikasi, pengonkretan untuk konkretisasi, pembabakan untuk periodisasi. Namun bentukan dengan –sasi atau –isasi tetap produktif dan banyak digunakan dalam bidang ilmu.

Hal yang sama berlaku untuk beberapa bentukan dengan akhiran –itas dengan konfiks ke–an seperti: objektivitas dengan keobjektifan, aktualitas dengan keaktualan, sportivitas dengan kesportifan, agresivitas dengan keagresifan, elastisitas dengan keelastisan, kompleksitas dengan kekompleksan.

Kata mantan, meskipun cakupan maknanya tidak seluas –eks, dalam beberapa pemakaian dapat menggantikan kata tersebut. Semacam awalan bak- dan lir- mempunyai arti yang sama dan rupanya sengaja ditawarkan mana yang dipilih diantara dua bentuk itu. Awalan dur- dan lawannya su- juga belum diterima dan dipergunakan oleh para penutur. Mengenai pasca- dan purna- kedua awalan itu kadang dikacaukan. Ada pelayanan pascajual dan pelayanan purnajual. Yang betul ialah pascajual. Pasca- adalah lawannya pra-, purna- tidak hanya menyatakan pengertian ‘selesai’ atau ‘sesudah’, melainkan juga ‘penuh; baik, atau berhasil’. Purnakaryawan ialah karyawan yang sudah menyelesaikan tugasnya dengan baik sampai pensiun.

D. Pembentukan Lebih Lanjut

Yang dimaksud pembentukan lebih lanjut ialah pembentukan kata turunan melalui proses morfologi bahasa Indonesia dengan kata-kata serapan sebagai bentuk dasarnya. Kata-kata serapan, sebagai warga kosakata bahasa Indonesia, juga dapat mengalami proses pembentukan sebagaimana warga kosakata yang lain. Proses pembentukan itu ada tiga macam, yaitu pengimbuhan, pengulangan, dan pemajemukan. Dalam kaitannya dengan unsur serapan, pembicaraan hanya menyangkut pengimbuhan, karena dalam pengulangan dan pemajemukan tidak ada yang perlu dibicarakan.

Pembicaraan mengenai pembentukan lebih lanjut sebenarnya sudah dimulai ketika dibicarakan konfiks peng–an dan ke-an dengan unsure serapan sebagai kata dasarnya. Begitu juga waktu dibicarakan pengulangan kata ‘data’ ‘ politisi’, dan ‘arwah’. Dalam kaitannya dengan penambahan awalan meng-, peng- dan peng–an perlu diamati apakah kata dasar yang berupa kata serapan itu diperlakukan sama atau berbeda dengan kata-kata yang lebih asli. Juga mengingat bahwa unsur-unsur serapan itu ada yang diawali dengan gugus konsonan.

Kata-kata yang diawali oleh konsonan hambatan tak bersuara /p/,/t/,/k/, dan geseran apiko-alveolar /s/ jika mendapat awalan meng- atau peng- fonem tersebut hilang atau luluh, contohnya: pukul menjadi memukul dan pemukul, tolong menjadi menolong dan penolong, karang menjadi mengarang dan pengarang, susun menjadi menyusun dan penyusun. Perlu dipertanyakan apakah hal yang sama juga dialami oleh kata-kata serapan, dan bagaimana jika fonem-fonem awal tersebut membentuk satu gugus dengan fonem-fonem yang lain.

Kata-kata serapan yang diawali dengan konsonan hambatan bilabial tak bersuara /p/ contohnya: paket, parker, potret, piket. Jika mendapat awalan meng- dan peng- atau peng – an, kata-kata tersebut menjadi memaketkan, memarkir, memotret, dan memiketi; pemaketan, pemarkiran, pemotretan, pemiketan. Jadi kata-kata serapan tersebut diperlakukan sama dengan kata-kata dalam bahasa Indonesia yang lain.

Kata-kata serapan yang diawali dengan konsonan hambatan apiko – dental tak bersuara /t/ contohnya: target, teror, terjemah, telpon. Apabila dibentuk dengan awalan meng- menjadi menargetkan atau mentargetkan; meneror atau menteror, menerjemahkan, dan menelpon. Jika dibentuk dengan peng – an menjadi; penargetan atau pentargetan, peneroran atau penteroran, penerjemahan, dan penelponan. Bentukan menargetkan dan penargetan, meneror dan peneroran agaknya masih belum berterima. Soal keberterimaan itu rupanya ditentukan oleh tingkat keasingan (atau keindonesiaan) kata serapan tersebut. Kata ‘tekel’ (dari tackle) tidak berterima jika dibentuk menjadi menekel dan penekelan, yang berterima ialah men-tekel dan pen-tekel-an.

Agar dapat dibentuk sesuai dengan kaidah morfofonemik yang berlaku, kata asing yang kemudian menjadi kata dasar itu harus sudah dikenal dengan baik. Kata yang belum begitu dikenal apabila mengalami proses morfofonemis menyebabkan orang sulit mengenal kata dasar dari suatu bentukan. Oleh karena itu, untuk kata-kata yang belum dikenal, bukan saja konsonan awalnya tidak mengalami peluluhan, melainkan juga diberi tanda hubung untuk mempertegas batas antara kata dasar dengan unsur-unsur pembentukannya, seperti contoh di atas yaitu men-tekel dan pen-tekel-an.

Konsonan geseran labio-dental tak bersuara /f/ dulu disesuaikan dengan system fonologi bahasa Indonesia menjadi /p/. Yang sudah disesuaikan menjadi /p/ mengalami penghilangan atau luluh, sedang apabila tetap /f/ mendapat sengauan yang homorgan, yaitu /m/. Contohnya: pikir menjadi memikirkan dan pemikiran; fitnah menjadi memfitnah dan pemfitnahan.

Konsonan hambatan dorso-velar tak bersuara /k/ yang mengalami kata-kata katrol, kontak, konsep, dan keker luluh apabila mendapat awalan meng- atau konfiks peng-an seperti terlihat pada: mengatrol dan pengatrolan, mengontak dan pengontakan, mengonsep dan pengonsepan, mengeker dan pengekeran.

Kata-kata serapan yang diawali dengan fonem geseran apiko-dental tak bersuara /s/ ada yang mengalami peluluhan ada yang tidak. Kata-kata tersebut contohnya: sample, setor, sekrup, setop. Jika mendapat awalan meng- dan peng-an kata-kata tersebut menjadi menyampel dan penyampelan, menyetor dan penyetoran, menyekrup dan penyekrupan, menyetop dan penyetopan.

Seperti halnya pada unsur serapan yang lain, kata-kata yang masih terasa asing mendapat perlakuan yang berbeda, contohnya pada kata “sinkrun” dan “sistematis”, jika mendapat awalan meng- dan peng-an menjadi mensinkrunkan dan pensinkrunan, mensistematiskan dan pensistematisan.

Kata dasar serapan yang diawali oleh gugus konsonan /pr/ seperti pada protes, program, produksi, dan praktik, jika mendapat awalan meng- /p/ tidak luluh menjadi: memprotes, memprogram, memproduksi, dan mempraktikkan. Tetapi apabila mendapat konfiks peng-an /p/-nya luluh menjadi: pemrotesan, pemrograman, pemroduksian, dan pemraktikan. Ini bukan perlakuan yang istimewa untuk unsur-unsur serapkan sebab hal yang demikian itu kita lihat juga pada bentukan memperkirakan, memprihatinkan.

Bagaimana dengan kata serapan yang diawali gugus konsonan /tr/, /kr/, dan /st/? kata-kata serapan yang diawali dengan gugus /kr/ contohnya: kritik, kristal, kredit, kreatif konsonan /k/-nya tidak hilang bila mendapat awalan meng- menjadi: mengkritik, mengkristal, mengkristal dan mengkreatifkan. Tetapi /k/ itu lebur apabila mendapat awalan peng- atau peng-an menjadi: pengritikan dan pengritik, pengristalan dan pengreditan dan pengredit.

Kata-kata serapan yang diawali dengan gugus konsonan /tr/, /st/, /sk/, /sp/, /pl/, /kl/, konsonan yang awalnya tidak pernah mengalami peleburan, baik dalam pembentukan dengan awalan meng-, peng-, maupun konfiks peng-an, contohnya: mentraktir, pentraktir, menstabilkan, penstabil, penstabilan; menskalakan, penskala, penskalaan; mensponsori, pensponsor, pensponsoran; memplester, pemplester, pemplesteran; mengkliping, pengkliping, pengklipingan.

Kata-kata serapan yang diawali oleh gugus konsonan yang terjadi atas tiga fonem dan fonem yang pertama berupa hambatan atau geseran tak bersuara, kalau ada, sudah tentu konsonan pertamanya tidak pernah lebur apabila mendapat awalan meng- atau peng-.

Kata-kata serapan itu tentu saja juga dapat mengalami proses pengulangan seperti pada: traktor-traktor, computer-komputer dan sebagainya. Kata-kata serapan tidak dapat mengalami perulangan sebagian yang berupa dwipurwa atau dwiwasana. Pada pengulangan dengan awalan konsonan awal pada suku ulangannya juga tidak luluh, contohnya: mempraktis-praktisan, mengkritik-kritik, menstabil-stabilkan.

E. Perhubungan antarmakna

Kata-kata biasanya mengandung komponen makna yang kompleks. Hal ini mengakibatkan adanya berbagai perhubungan yang memperlihatkan kesamaan, pertentangan, tumpang tindih, dan sebagainya. Dalam hal ini para ahli semantik telah mengklasifikasikan perhubungan makna itu ke dalam berbagai kategori, seperti sinonimi, polisemi, hiponimi, antonimi dan sebagainya. Berikut akan dijelaskan beberapa kategori yang penting dalam pembahasan semantik.

a. Sinonimi

Dua buah kata yang mempunyai kemiripan makna diantaranya disebut dua kata yang sinonim. Kata perempuan yang mempunyai komponen makna manusia dewasa berkelamin perempuan adalah sinonim dengan kata wanita. Keduanya mempunyai komponen makna yang sama. Sekalipun kata perempuan dan wanita sulit dibedakan artinya namun di dalamnya ternyata ada unsur emotif yang membedakannya. Kata perempuan merupakan kata yang metral, dan wanita terasa ada implikasi penghargaan pengucapannya.

b. Hiponimi

Dekat dengan perhubungan yang disebut sinonimi adalah perhubungan yang disebut hiponimi. Hiponimi menyatakan hubungan makna yang mengandung pengertian hubungan hierarkis. Bila sebuah kata memiliki semua komponen makna kata lainnya, tetapi tidak sebaliknya, maka perhubungan itu disebut hiponimi. Kata warna meliputi semua warna lain. Jadi merah, hitam, hijau adalah hiponim dari kata warna. Hiponimi kemudian menjadi dasar pendekatan yang disebut dengan semantic field atau semantic domain, yaitu pendekatan semantik yang mecoba melakukan klasifikasi makna berdasarkan persamaan arti atau bidang makna yang sama dikumpulkan dalam satu kelompok

c. Homonimi dan Polisemi

Bila terdapat dua buah makna atau lebih yang dinyatakan dengan sebuah bentuk yang sama, maka perhubungan makna dan bentuk itu disebut homonimi (sama nama atau juga yang sering disebut homofini (sama bunyi). Kata seperti pukul dapat menyiratkan makna (1) jam seperti terdapat dalam pukul tiga, dan dapat menyiratkan makna (2) kegiatan memukul. Kata yang mempunyai banyak makna disebut polisemi. Kata bisa (1) dan bisa (2) mengandung makna yang sama sekali berbeda, oleh sebab itu dianggap dua kata yang dua kata yang kebetulan bunyi sama atau sama nama. Tetapi kata pukul mempunyai dua makna yang saling berhubungan, dan oleh karena itu disebut kata yang mempunyai banyak makna.

d. Antonimi

Perhubungan makna yang terdapat antara sinonimi, polisemi, homonimi, hiponimi, atau polisemi, bertalian dengan kesamaan-kesamaan, antonimi, sebaliknya, dipakai untuk menyebut makna yang berlawanan. Bentuk-bentuk seperti laki-laki dan hidup, masing-masing berantonim dengan perempuan dan mati . Dan kata-kata yang berlawanan makna itu disebut mempunyai perhubungan yang bersifat antonimi